Badan Khusus dan Terobosan Membangun Papua

by Redaksi

Pasal 68A, UU 21/2001 junto UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua, mengamanatkan pembentukan suatu badan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus (otsus). Badan ini bertugas melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, pelaporan, dan koordinasi terpadu pelaksanaan otsus dan pembangunan di wilayah Papua.

Badan tersebut diketuai wakil presiden dan anggotanya adalah mendagri, menteri perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas, dan menteri keuangan, ditambah satu orang perwakilan dari setiap provinsi di wilayah Papua. Untuk mendukung pelaksanaan tugas, dibentuk kesekretariatan yang berkantor di Papua. Sesuai PP 106/2021 yang merupakan penjabaran Pasal 68A UU 2/2021, badan dimaksud dinamai Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP).

Alasan di balik keberadaan BP3OKP adalah, pertama, pengalaman empiris menunjukkan selama dua puluh tahun (2001-2021) tidak ada satu institusi di bawah Presiden yang berperan mengarahkan, memonitor, dan mengevaluasi setiap program otsus maupun dana otsus serta dana-dana pembangunan lain, seperti DAK, DAU, DBH, Dana Tambahan Infrastruktur, dan Dana Sektoral, agar lebih terarah pada program-program otsus.

Kedua, menurut Presiden Jokowi, untuk mengeliminasi keberadaan desk-desk Papua yang selama ini berada di kementerian dan lembaga, berikut program dan dananya, sehingga bisa dikonsentrasikan untuk menunjang program pembangunan otsus. Upaya ini sekaligus meminimalisasi ego sektoral dari kementerian dan lembaga di lapangan yang kerap overlapping dalam pelaksanaan program pembangunan di Papua, bahkan tidak jarang saling lempar tanggung jawab.

Ketiga, badan ini berperan melakukan mitigasi permasalahan pembangunan di Papua apakah telah sesuai dengan amanat UU Otsus dan peraturan pelaksanaannya termasuk rencana induk yang sedang dikerjakan oleh Bappenas bersama Pemprov Papua dan Papua Barat. Jika hasil mitigasinya melenceng, mesti dilaporkan kepada Dewan Pengarah dan dilanjutkan kepada Presiden agar diupayakan solusinya.

Badan ini juga bertugas dan berperan sebagai jembatan memediasi kepentingan pusat di wilayah Papua, dan sebaliknya penyambung aspirasi dan kepentingan Papua ke pemerintah pusat.

Karena peran dan fungsi yang dilakoni sebagai moderator, katalisator, dan mitigasi, badan ini tidak dapat bekerja tanpa data (data tentang jumlah orang asli Papua, kebutuhan guru, sekolah berasrama, kebutuhan perawat, puskesmas, serta rumah sakit ibu dan anak), dan fakta di lapangan agar sesuai kebutuhan dan kepentingan masyarakat, terutama orang asli Papua sebagai subjek dan objek dari otsus.

Pada prinsipnya, keberadaan BP3OKP merupakan terobosan institusional untuk mengarahkan dan mengawal implementasi otsus, sehingga penanganan pembangunan bisa dilakukan secara lebih komprehensif untuk mengatasi berbagai permasalahan di Papua, yang sasarannya OAP sebagai warga bangsa yang berhak memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

Oleh karena itu ada beberapa rekomendasi. Pertama, keberadaan BP3OKP bukan hanya masalah institusionalisasi, instrumen, atau tuntutan dari substansi kebijakan otsus, tetapi mentransformasikan persoalan yang selama ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan. Lebih dari itu, kekhususan yang dieksplorasi memungkinkan proses yang akseleratif.

Dalam rangka akselerasi itulah, disepakati peruntukan Dana Otsus sebesar 2,25% yang merupakan suplemen dari keseluruhan dana transfers pemerintah pusat dengan mekanisme sharing (1% block grant dan 1,25% berbasis kinerja) dan dana-dana pembangunan lainnya untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan meminimalisasi ketimpangan.

Kedua, salah satu kelemahan dari penyelenggaraan otsus selama ini adalah pembangunan yang dilakukan cenderung semakin memarginalkan OAP. Hal ini memunculkan kekhawatiran dan resistensi penolakan terhadap perubahan otsus. Pelaksanaan otsus selama dua puluh tahun yang lalu harus diakui kurang optimal dalam pelaksanaannya. Hal itu disebabkan salah satunya tidak adanya badan khusus yang berperan dan bertanggung jawab mengarahkan agar sesuai ketentuan yang diamanatkan oleh UU Otsus.

Ketiga, pengalaman empiris implementasi otsus selama ini dilakukan tanpa arah dan pedoman yang jelas melalui suatu rencana induk. Akibatnya tidak ada indikator untuk mengukur keberhasilan atau kekurangannya.

Keempat, pengalaman selama dua dekade otsus itulah yang mendasari Panitia Khusus Otsus di DPR yang diketuai Komaruddin Watubun mengusulkan keberadaan satu badan yang bukan saja mengarahkan tapi juga mengontrol, mengawasi, dan mengurus pelaksanaan otsus dari pusat hingga daerah secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, mereka yang duduk di badan ini harus fokus mengarahkan penyelenggaraan otsus.

Dengan demikian BP3OKP dapat memainkan peran dan fungsinya seperti Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh (BRRA). Dengan mengadopsi cara dan mekanisme kerja model BRRA, BP3OKP dapat melakukan terobosan baru dengan cara baru, pandangan baru, dan paradigma baru, seperti yang ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo saat rapat kabinet 11 Maret 2021.

Artikel Terkait

Leave a Comment