Kemunculan virus Covid-19 varian omicron menjadi babak baru dari rangkaian masa pandemi yang sebelumnya telah mengalami masa penurunan secara signifikan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Momentum libur Natal dan Tahun Baru kembali menjadi kesiapsiagaan sekaligus antisipasi dari pemerintah dan aparat dalam upaya menegasi penerapan protokol kesehatan sebagai perisai sekaligus kunci utama dalam meminimalisir penularan virus Covid-19 varian omicron yang telah dinyatakan masuk wilayah Indonesia. Pada Selasa 28 Desember 2021, Kementerian Kesehatan kembali mengumumkan adanya temuan kasus transmisi lokal omicron di Jakarta, dimana hal tersebut harus menjadi perhatian bersama.

Secara definisi, transmisi lokal dalam kaitannya dengan virus Covid-19 varian omicron ialah penularan di dalam negeri dimana pasien tidak memiliki riwayat bepergian dari negara terdampak/ asal varian omicron. Di sisi lain, juga terdapat istilah community transmission/ transmisi komunitas yang berarti penularan dalam level komunitas, terjadi infeksi di masyarakat luas, bahkan kerap tidak disadari. Level transmisi komunitas patut menjadi perhatian yang lebih karena infeksi penyakit bisa menyebar sedemikian rupa sehingga penularannya tidak diketahui seperti fenomena gunung es. Terlebih, omicron erat kaitannya dengan pertumbuhan eksponensial. Epidemiolog Universitas Griffith Australian Dicky Budiman bahkan telah menduga bahwa kasus omicron di Indonesia bukan lagi transmisi lokal, namun sudah berupa transmisi komunitas. Hal tersebut belum terdeteksi oleh pemerintah lantaran tes whole genome sequences yang masih minim. Dalam keterangan WHO berdasarkan pertemuan mingguan epidemiolog pada 29 Desember 2021, dinyatakan bahwa risiko yang ditimbulkan Covid-19 varian omicron masih sangat tinggi, usai kasus melonjak 11% secara global. Berdasarkan bukti yang dimiliki WHO, varian omicron memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding varian delta. Ia memiliki waktu penggandaan dua hingga tiga hari, dan kenaikan kasus yang signifikan di sejumlah negara termasuk Inggris dan Amerika Serikat. 

Terkait kondisi di Indonesia dengan kemajemukan dan beberapa faktor serta latar belakang yang mempengaruhi. Varian omicron yang hingga 28 Desember 2021 telah terkonfirmasi mencapai sejumlah 47 kasus diantara imbauan pelaksanaan protokol kesehatan massif dilakukan, namun masih banyak dimaknai dan ditindaklanjuti secara beragam. Kasus perbedaan kebijakan pelaksanaan karantina yang paradoks melibatkan pejabat, aparat, politisi, hingga public figure menimbulkan riak keriuhan, ketidakpercayaan hingga ketidakpatuhan yang berimbas pada upaya pemerintah menanggulangi pandemi, utamanya sebaran varian omicron di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga dilaporkan belum banyak memiliki alat pendeteksi varian omicron melalui metode whole genome sequencing atau pengurutan genom, dimana sampel diperoleh dari tes reaksi berantai polymerase (PCR) seperti halnya cara mendeteksi varian delta dan lainnya. Di sisi lain, berdasarkan hasil riset soal vaksinasi Covid-19 yang diselenggarakan oleh John Hopkins Center for Communication Programme pada bulan November 2021, dari 27.375 responden sebanyak 45% responden yang belum divaksin menyatakan ragu akan efek samping dari vaksin Covid-19. Kemudian, hasil survei dari Palang Merah Indonesia pada akhir September 2021 mengungkapkan masih terdapat 2 faktor yang menjadi alasan utama masyarakat menolak vaksin Covid-19. Yakni, pertama takut injeksi beserta efek sampingnya, serta kedua adalah masih mencari informasi komprehensif terkait vaksin.

Berkaca dari hal tersebut, serangkaian informasi yang tepat masih dibutuhkan masyarakat mengenai efek vaksinasi Covid-19. Sikap kritis harus selalu dimunculkan dalam setiap mengakses informasi apapun, kemudian sikap bijak juga harus ditunjukkan dalam bertindak dimanapun. Menjadi perhatian bersama, bahwa kunci utama dalam upaya menghadapi sebaran varian omicron di Indonesia ialah kolaborasi saling berpartisipasi dalam disiplin penerapan protokol kesehatan dan mematuhi imbauan serta larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah bersama pihak terkait juga harus bersikap lebih agresif melakukan tracing terhadap seluruh temuan kasus omicron. Pemeriksaan varian baru juga menyasar kepada mereka yang mengidap gejala klinis Covid-19 saat baru datang dari luar negeri. Pemantauan aktivitas selama 14 hari pasca karantina selesai pun juga perlu dilakukan. Gotong-royong tak hanya dalam literasi informasi, namun juga kontribusi untuk bersama-sama mengantisipasi. Jika hal tersebut terjadi secara menyeluruh maka dapat dipastikan penyebaran omicron tidak meluas pada level transmisi komunitas seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak.

Artikel Terkait

Leave a Comment