Pdt. Socratez Yoman

Kembali Permasalahkan Pepera 1969, Narasi Socratez Yoman Terbantahkan oleh Steve Mara

by Redaksi
Pdt. Socratez Yoman

nusaraya.online – Berapa kali sudah tulisan opini berkaitan dengan Pepera 1969 dituliskan oleh Pendeta Socratez Yoman manfaatkan media sosial ataupun unggahan di media online yang memiliki preferensi sepaham dengannya. Sayangnya, opini-opini tersebut kerap bersikap subjektif mengabaikan fakta lain dengan sengaja demi upayanya menonjolkan opini yang ingin disampaikan bahkan terkadang menyudutkan pemerintah demi menarik simpati masyarakat Papua. Perlu untuk diketahui bersama, bahwa Socratez Yoman merupakan salah satu pendeta yang menyatakan diri berpihak pada kelompok separatis Papua dalam upaya melepaskan diri dari wilayah Indonesia.

Sebuah tulisan baru saja disampaikan oleh Ketua Melanesian Youth Diplomacy Forum, Steve Rick Elson Mara menyanggah opini dari Socratez Yoman utamanya berkaitan dengan Pepera 1969. Menurutnya, Socratez Yoman kembali memaknai risalah persidangan Resolusi 2504 secara selektif dan terbang pilih. Ia menyatakan bahwa seluruh argument inti dari Socratez Yoman telah dijawab, namun sang pendeta tersebut tetap mengutip dan bahkan mengkultuskan pernyataan Wakil Tetap Ghana. Akibat pendekatan selektif tersebut, Gembala Yoman sepertinya lupa membaca habis risalah persidangan. Contoh, Belanda saja menolak resolusi yang Ghana ajukan dan akhirnya abstain. Secara halus Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda, Luns meminta agar Wakil Tetap Ghana, Duta Besar (Dubes) Akwei mengurungkan niatnya untuk mengganggu pembahasan resolusi 2504. Hal tersebut dapat dimengerti karena terkesan mengada-ngada dan menghambat persidangan serta tidak memahami rancangan resolusi yang Belanda, Indonesia, Luksemburg, Malaysia, dan Thailand ajukan. Menlu Belanda, Luns, bahkan menyatakan bahwa Ortis-Sanz pun, yang menurut Gembala Yoman mengusulkan one-man-one vote, telah menerima mekanisme Pepera yang akhirnya dilaksanakan di Papua.  

Dalam penjelasan Menlu Belanda Luns, diuraikan bahwa seperti penjelasan sebelumnya berkaitan dengan sebuah fakta yang menjadi acuan dari berbagai delegasi bahwa seorang diplomat Bolivia yang memberikan bantuannya berdasarkan perjanjian untuk tindakan pilihan bebas, telah menyatakan beberapa kritik tentang kondisi dimana tindakan pilihan bebas tersebut terjadi. Dengan mempertimbangkan keseluruhan gambaran keadaan negara dan hal lainnya, sampai pada kesimpulan bahwa tindakan pilihan bebas dilakukan, dengan cara yang dapat diterima.

Steve Mara lantas mengingatkan kembali bahwa ditulisannya sebelumnya telah dijelaskan bagaimana Ortis-Sanz mengakui berbagai sarannya yang diakomodasi oleh pemerintah Indonesia. Namun Pendeta Socratez Yoman bahkan pernah mengutip telegram rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Menurut Steve Mara, seorang Yoman perlu membaca buku karangan mantan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat di Indonesia, Marshall Green antara Juni 1965 hingga Maret 1969.

Dalam bukunya yang berjudul Indonesia: Crisis and Transformation 1965 – 1968, Dubes Marshall Green sangat mengikuti dan bertanggung jawab atas kebijakan Amerika di Indonesia. Sehingga tanpa harus secara selektif memaknai telegram Kedubes Amerika. Di buku tersebut disampaikan bahwa pelaksanaan Pepera dengan mekanisme musyawarah dan konsultasi adalah metode terbaik karena metode lainnya tidaklah memungkinkan. Hal ini juga yang kemudian menurut Dubes Green akhirnya dimaklumi oleh Tim dari PBB.

Perlu Gembala Yoman pahami bahwa pelaksanaan metode Pepera melalui sistem perwakilan yang dilandasi konsultasi dan musyawarah justru adalah praktik yang universal dan diterima PBB pada saat itu. Contoh, self-determination Fiji, Southern Rhodesia, Equatorial Guinea, Mozambique, dan Sabah-Sarawak tidak dilakukan dengan one-man one-vote.

Steve Mara kembali menegaskan bahwa Gembala Yoman telah mengutip paragraf 143, halaman 47 dari laporan Sekjen PBB kepada Majelis Umum PBB (A/7723, 6 November 1969). Namun, Gembala Yoman melewatkan paragraf 144 yang justru menerangkan keraguan dan kecurigaan dari Ortis-Sanz bahwa petisi yang berisi penolakan diduga ditulis oleh orang yang sama. Paragraf 147 dari Laporan Sekjen PBB justru menyatakan bahwa menjelang pelaksanaan Pepera petisi dari masyarakat Papua yang ingin tetap menjadi bagian Indonesia justru semakin banyak diterima oleh Kantor PBB.

Maka, sekali lagi melalui penjelasan sekaligus sanggahan ini. kiranya Gembala Socratez Yoman agar menyudahi cara-cara selektif serta tebang pilih. Sangat disayangkan karena cara tersebut tidak memberi terang garam bagi masyarakat Papua, melainkan kegelapan yang menuntun pada perpecahan.

Jejak sang Pendeta Politik yang Pro Kemerdekaan Papua

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Socratez Yoman merupakan salah satu tokoh agama yang juga merangkap aktivis pro kemerdekaan Papua. Dirinya memiliki concern bidang ideologi mempengaruhi masyarakat untuk turut serta memperjuangkan kemerdekaan wilayah Papua dari Indonesia. Dalam perjalanannya, kiprah Socratez sebagai penggembala umat justru tersusul oleh sejumlah aktivitasnya yang tendensius pada upaya politik untuk melepaskan diri dari Indonesia. Sejumlah jejak dari kegiatan dan gerakan politiknya telah membuat banyak pihak merasa keberatan, tidak terima, bahkan hingga terprovokasi.

Pengamat politik masalah Papua alumnus Universitas Indonesia (UI), Toni Sudibyo pernah merespon pernyataan Socratez pada tahun 2014 terkait penyusunan Otsus serta implementasinya bahwa Indonesia hanya bersandiwara dengan membiarkan orang Papua musnah melalui kekerasan negara selama hampir 50 tahun. Menurutnya, pernyataan Socratez merupakan strategi dasar para pendukung OPM di dalam maupun di luar negeri untuk melakukan segala upaya sehingga program Otsus dan program pembangunan gagal, dimana skenario selanjutnya adalah dorongan penentuan sikap politik melalui referendum untuk melepaskan diri dari Indonesia.

Kemudian pada tahun 2016 terdapat pernyataan Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte bahwa perjuangan politik Papua sudah final melalui dua fase masing-masing Pepera 1969 dan Otsus 2001, dibantah oleh Socratez. Menurutnya pernyataan tersebut tidak mewakili suara nurani orang asli Papua. Ia bersikeras tak ada istilah final dalam kehidupan masyarakat, tapi selalu ada dinamika dan proses politik. Pernyataan tersebut direspon oleh generasi muda Papua Emus Kogoya bahwa Socratez bukan seorang politikus, menurutnya yang dimaksud final bukan kebijakannya, tetapi status politik bahwa Papua secara sah merupakan bagian dari NKRI. Jika saat ini terdapat kebijakan Otsus, DOB, dll, merupakan upaya percepatan pembangunan di Papua. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang mahasiswa Papua di Jakarta bernama Emilia Karubaga yang juga turut merespon pernyataan Socratez, menurutnya tidak mencerminkan seorang pendeta, namun cenderung provokator yang selalu memperkeruh dengan bersembunyi dibalik agama. Semestinya dirinya membuat sejuk hati umat, bukan membuat panas.

Sikap kecewa terhadap Socratez juga pernah ditunjukkan oleh Ketua Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua, Ali Kabiay. Dirinya menyesalkan pernyataan Socratez Yoman dalam status di akun Facebook atas nama Socratez Sofyan Yoman pada tanggal 1 November 2020 terkait pembentukan organisasi P5 atau Presidium Putra Putri Pejuang Pepera, di sentani yang diketuai oleh Bapak Yanto Eluay. Menurut Ali, pendeta Socratez sebaiknya tidak terlalu mengurusi masalah politik di Papua dan belajar menghargai keputusan Ondoafi Yanto Eluay sebagai ketua P5. Ia berharap Pendeta Socratez menunjukkan jati diri sebagai pelayan umat, bukan inspirator politik.

Masih berkaitan dengan unggahan di media sosial, pada tahun 2021 Pendeta Socratez juga pernah mengunggah narasi dengan menyebut bahwa Indonesia sebagai penjajah yang memadukan rasisme di tanah Papua. Unggahan tersebut kemudian direspon oleh pemerhati isu strategis dan masalah Papua, Prof. Imron Cotan bahwa sebagai seorang doktor, pendeta, dan tokoh masyarakat, tidak seharusnya Socratez memutarbalikkan sejarah dengan pura-pura tak tahu kronologi sejarah kemerdekaan Indonesia dan hubungannya dengan Tanah Papua, bahkan mengatakan Indonesia sebagai bangsa “penjajah”.

Kini adanya unggahan tulisan darinya yang mengkultuskan pernyataan Wakil Tetap Ghana berkaitan dengan Resolusi hasil Pepera 1969 telah terbantahkan oleh penjelasan dari Steve Mara. Entah sadar atau tidak, tindakan provokasi dan tendensius yang ia lakukan hanya semakin mengecilkan peran dan wibawa seorang pendeta yang harusnya menyejukkan umat dengan mendukung pemerintahan yang sah sebagai wakil Tuhan di dunia. Bukan kemudian merongrong dengan sejumlah narasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Artikel Terkait

Leave a Comment