Pascaperubahaan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menjadi UU No 2/2021, menyiratkan harapan adanya akselerasi pembangunan dan solusi masalah Papua. Apalagi revisi UU itu disusul dengan terbitnya aturan turunan baik PP maupun Perpres mengenai Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) atau Rencana Induk Pembangunan Papua 20 tahun (2022-2041)
Perubahan UU Otsus dan paket kebijakan ini menunjukkan pemerintah pusat berkomitmen dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Papua, terutama penduduk lokal (orang asli Papua/OAP).
Paket kebijakan tersebut terefleksikan lewat program dan mobilisasi dana, bukan saja Dana Otsus sebesar 2,25% (1,25 merupakan special grant ke kabupaten/kota, dan 1% block grant ke provinsi), tetapi juga konsentrasi program dan dana-dana sektoral dari kementerian dan lembaga agar tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat atau OAP. Diharapkan pula memberi dampak terhadap penyelesaian soal Papua secara komprehensif.
Pendekatan tujuh wilayah budaya (Tabi, Lapago, Meepago, Animha, Saireri, Domberai, dan Bomberai) dengan basis pada zona ekologi, merupakan pilihan yang tepat dengan sasaran masyarakat adat, agama, dan perempuan. Paket kebijakan ini mengikat pemerintah dari pusat hingga kabupaten/kota, maupun DPR Papua (DPRP) dan DPRD kabupaten/kota serta pemangku kepentingan lainnya untuk menyelesaikan masalah Papua melalui percepatan pembangunan. Akselerasi pembangunan sebagai solusi masalah Papua tak hanya menyangkut pasal 45 dan 46 tapi UU Otsus Papua, tetapi juga meliputi soal ekonomi dan sosial yang selama 20 tahun lalu belum optimal daya ungkitnya.
Paket kebijakan ini merupakan norm-matter yang penuh dengan konsep yang perlu aksi nyata. Aksi nyata tersebut terdeskripsikan antara lain melalui pengisian anggota DPRP dan DPRD kabupaten/kota yang diangkat dari unsur OAP, sesuai PP No 106/2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Selain itu juga penggunaan dana Otsus dan non-Otsus yang berbasis kinerja (PP No 107/2021) seperti block grant 1% yang ditujukan untuk pembangunan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan OAP dan penguatan lembaga adat, serta hal lain berdasarkan kebutuhan dan prioritas daerah.
Dua hal terakhir adalah kebijakan daerah yang dapat dilakukan dengan sharing bersama antara provinsi dan kabupaten/kota. Specific grant 1,25% yang penggunaannya berbasis kinerja di tingkat kabupaten/ kota dengan alokasi 30% belanja pendidikan dan 20% belanja kesehatan.
Substansi dari Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua paling tidak menyasar lima hal. Kelimanya adalah pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur dasar dan konektivitas, pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, serta penguatan tata kelola pemerintahan.
Tiga Agenda Prioritas
Presiden Joko Widodo memberikan fokus untuk tiga agenda prioritas, yaitu kesehatan (Papua Sehat), pembangunan dan peningkatan SDM melalui pendidikan (Papua Cerdas), serta pemberdayaan masyarakat dan ekonominya (Papua Produktif).
Ketiga sektor unggulan Otsus tersebut didukung oleh infrastruktur dan konektivitas (Papua Tersambung), listrik (Papua Terang), sanitasi, air bersih dan lingkungan hidup yang berkelanjutan termasuk Papua Barat yang telah dimaklumatkan sebagai provinsi konservasi (Papua Lestari), melestarikan budaya dan nilai-nilainya termasuk penetapan Papua sebagai provinsi olahraga (Papua Bangga).
Arsitektur Papua merupakan tantangan besar dan kompleks yang berpijak pada kearifan lokal yang berorientasi pada wilayah budaya dan berdasarkan pada dimensi zona ekologi tak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah. Pemulihan yang menyeluruh dengan melibatkan masyarakat adat, agama (gereja), perempuan, dan kaum milenial Papua merupakan rangkaian aksi yang membutuhkan koordinasi.
Pada aras ini kehadiran BP3OKP menjadi jangkar sekaligus mengarahkan dan memandu agar setiap kegiatan prioritas bisa fokus dan tepat sasaran, baik program maupun dananya. Dengan demikian dihindari adanya overlapping atau ego sektoral dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Papua. Selain itu dipastikan agar belanja dana Otsus sesuai prioritas yang telah diamanatkan dalam UU No 2/2021.
Pelaksanaan program prioritas dan program penunjang Papua Sehat, Papua Cerdas, dan Papua Produktif berikut pendanaannya hal krusial di lapangan. Oleh karenanya dalam pengawasan dan monitoring melibatkan komponen pengawasan dari institusi pemerintah pusat maupun daerah termasuk lembaga legislatif.
Pelaksanaan Musrengbangsus sebagai media dialektika dalam rangka mengidentifikasi, menginventarisasi dan membuat program bersama pada tingkat akar rumput yang menjadi kebutuhan dasar dari masyarakat. Jadi tidak lagi ada dana lalu merancang program. Kebiasaan seperti ini berakibat pada pemborosan dana, sehingga dengan mudah dana diselewengkan.
Di sinilah dibutuhkan penataan organisasi lembaga masyarakat adat dan perempuan yang ikut membantu mengelola organisasinya, maupun kapasitas kelembagaannya. Dari organisasi keagamaan, seperti gereja, tidak masalah, karena telah berpengalaman dalam mengelola program dan dana bahkan akuntabilitasnya. Dengan demikian menghindari birokratisasi program dan dana yang menjadi hak dan wewenang masyarakat melalui institusi adat, agama, dan perempuan.
Demikian juga dengan program dan dana sektoral diarahkan agar mendukung program Otsus. Dalam konteks seperti ini maka pengalaman Joint Development for Papua atau JDF di era 1970 hingga 1990-an dapat diadopsi agar masyarakat dapat mandiri membiayai dirinya sendiri sesuai potensi yang ada di lingkungannya (tanah, hutan, laut).
Program dan dana sektoral disinergikan dengan program dan dana Otsus. Misalnya pembangunan Puskesmas. Program sektoral Kementerian Kesehatan bertanggung jawab membangun Puskesmas dan fasilitas fisiknya, sedangkan dana Otsus untuk kesehatan diperuntukkan ketersediaan obat dan tenaga medis. Hal ini untuk memastikan ketika masyarakat berobat, mereka memperoleh pelayanan yang prima dan tuntas.
Kalau dana Otsus tidak dapat meng-cover kebutuhan Puskesmas, maka bisa diambil dari dana sektoral lainnya. Dengan catatan semua ini mesti terprogram sebelumnya, sehingga tidak ada istilah kekurangan yang berakibat terhadap pelayanan untuk masyarakat.
Demikian juga di sektor pendidikan, termasuk ketersediaan guru dan masih banyaknya anak Papua yang belum bersekolah yang menjadi sorotan Agus Sumule dari UNIPA. Hal ini butuh kerja teknokratis, statistik, matematis berdasarkan data tentang kebutuhan. Hal yang paling penting adalah memastikan berapa jumlah OAP. Masalah ini menjadi salah satu tugas dari BP3OKP yang akan bermitra dengan BPS Papua maupun lembaga keagamaan untuk mengaktualkan data OAP.
Reformasi Birokrasi
Deskripsi tersebut memberikan sinyal kuat bahwa reformasi dan cara kerja birokrasi pemerintahan dituntut mesti beradaptasi dan peka terhadap kebutuhan dan tuntutan kemajuan sesuai perubahan arah kebijakan ini. Birokrasi yang tanggap dan peka untuk melakukan perubahan struktur yang menyesuaikan dengan iklim dan kultur birokrasi berbasis teknologi digital, tidak lagi bekerja dalam ketertutupan. Hal ini sesuai dengan singkatan PAPUA (Perlindungan, Afirmasi, Pemberdayaan, Universal dan Akuntabilitas).
Penataan birokrasi pemerintahan juga akan dicoraki oleh digitalisasi yang mewajibkan semua program dan dana maupun kegiatan dapat diakses oleh publik. Penataan birokrasi meliputi peningkatan dan kualitas ASN, kapasitas kelembagaan, dan kultur birokrasi yang lebih profesional.
Pengalaman menunjukkan, selama 20 tahun yang lalu, mesin birokrasi pemerintahan merupakan salah satu kendala yang turut memengaruhi optimalisasi pencapaian tujuan Otsus. Hal paling dirasakan di tingkat kabupaten, misalnya, keterlambatan akuntabilitas pemanfaatan dana Otsus yang setiap tahun menjadi masalah, sehingga pemerintah provinsi mesti kerja keras menagih pertanggungjawabannya.
Keterbukaan informasi yang seluas-luasnya menjadi tuntutan yang tak dapat diabaikan oleh lembaga pemerintah dan institusi publik lainnya. Digitalisasi birokrasi mengharuskan terbukanya akses informasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pelaporan. Hal ini untuk menghindari penyelewengan program dan terutama dana.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah pemerintah pusat membuka pintu kerja sama ekonomi dan pengembangan budaya Melanesia dengan negara dan masyarakat serumpun di Pasifik. Papua menjadi gerbang perdagangan dan transaksi ekonomi dengan Kawasan Pasifik dan pusat penelitian dan pengembangan budaya Melanesia.
Namun, sebelum Papua menjadi gerbang Pasifik dalam hal kerjasama ekonomi dan kebudayaan, terlebih dahulu masyarakat Papua diberdayakan dan mandiri untuk memproduksi keunggulan komparatif dari sumber daya yang dimilikinya. Dengan demikian, ketika pintu gerbang itu dibuka maka kemitraan yang dibangun adalah relasi yang positif dan setara.
Selain itu tuntutan penyelesaian soal Papua yang selama ini menjadi kendala mesti dituntaskan sehingga tidak menghambat relasi keharmonisan dan kemitraan yang konstruktif. Pembukaan pintu dan relasi kemitraan ekonomi dan kebudayaan Papua sebagai gerbang Pasifik diharapkan berimplikasi simbiosis mutualisme tanpa mengganggu kedaulatan negara atas Papua.