Persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini karena sejatinya merupakan paham yang menjiwai aksi terorisme. Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid menegaskan bahwa untuk mengetahui adanya penceramah radikal, dapat diurai melalui beberapa indikator yang bisa dilihat dari isi materi yang disampaikan, bukan dari tampilan penceramah. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri dengan mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda, fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan sebaran hoaks. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Serta, Kelima biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifan lokal keagamaan.

Secara kronologis, adanya ceramah yang dianggap radikal dilatari oleh beberapa faktor. Pertama, terbukanya keran kebebasan berpendapat yang dihadiahkan oleh gerakan reformasi 1998, dimana munculnya gerakan keagamaan konservatif yang mewujud salah satunya pada fenomena ceramah radikal. Kedua, terjadinya gelombang arus penyebaran ideologi islam transnasional yang mengusung gerakan khilafah islamiyyah dan sejenisnya. Seperti kita tahu, ideologi transnasional dalam banyak hal bertentangan dengan NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Para penyebar ideologi islam transnasional acapkali membangun persepsi bahwa NKRI, Pancasila dan UUD 1945 bertentangan dengan ajaran Islam. Para pengasong ideologi islam transnasional itulah yang membajak panggung dakwah dengan ceramah keagamaan radikal. Ketiga, maraknya praktik politisasi agama yaitu menjadikan identitas keagamaan sebagai komoditas politik untuk meraih kekuasaan. Fenomena politik identitas yang marak selama satu dekade terakhir ini tidak pelak telah mengotori mimbar dakwah keagamaan kita dengan narasi kebencian baik terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai lawan politik. Fenomena politisasi agama tersebut lantas menyeret sejumlah tokoh agama atau penceramah ke dalam pusaran dakwah radikal. Keempat, kebangkitan ghirah kesalehan di kalangan umat Islam yang berujung pada menguatnya konservatisme beragama. Di satu sisi, umat Islam memang kian saleh dalam hal ritual dan mengekspresikan kesalehannya di ruang publik. Namun, di sisi yang lain umat Islam juga semakin bersikap eksklusif bahkan intoleran terhadap kelompok agama lain. Di tengah kehidupan beragama yang eksklusif dan intoleran itulah, industri ceramah radikal tumbuh subur. 

Berangkat dari hal tersebut, penting kiranya diperlukan upaya untuk mensterilkan ruang publik beragama kita dari propaganda radikalisme yang disebar melalui mimbar-mimbar ceramah. Ruang publik beragama idealnya diisi dengan wacana keagamaan yang konstruktif. Yakni wacana keagamaan yang sejalan dengan prinsip kebangsaan. Upaya tersebut tentu membutuhkan kerjasama antara pemerintah di satu sisi dan umat Islam di sisi lain. 

Pemerintah perlu merespon dengan bertindak tegas pada penceramah agama radikal yang gemar menebar kebencian, provokasi, dan adu domba antar sesama umat dan pemerintah. Dalam konteks ini, negara tidak boleh kalah oleh para penceramah radikal yang berlindung di balik alibi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pemerintah tidak boleh ragu apalagi takut dalam menegakkan aturan hukum kepada penceramah agama radikal meski diserang tudingan islamophobia, anti-Islam dan sebagainya.

Di sisi lain, umat Islam harus memiliki kesadaran untuk selektif dalam memilih ceramah agama, baik secara online maupun offline. Jangan memberikan panggung bagi penceramah radikal. Literasi keagamaan ialah kunci untuk membasmi ceramah radikal. Literasi keagamaan yang kuat akan menuntun umat untuk mencari pengetahuan agama dari sumber-sumber yang terpercaya, bukan dari sosok yang hanya sekadar populer. Literasi keagamaan akan menjadi benteng umat dari propaganda radikalisme yang disebar melalui mimbar-mimbar keagamaan. Literasi tersebut perlu disebarluaskan secara masif sehingga berdampak minimnya muatan radikal di ruang publik.

Artikel Terkait

Leave a Comment