Kelompok Bersenjata di Papua

Demi Cegah Korban Kembali Berjatuhan, KKB Perlu Diubah Jadi KST Papua Berikut Dasar Penanganan

by Redaksi
Kelompok Bersenjata di Papua

nusaraya.online – Selama ini, terdapat perbedaan istilah terhadap kelompok pengacau keamanan yang kerap muncul dalam pemberitaan media berkaitan dengan konflik yang terjadi di Papua. Sebagian media menyebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), lalu sebagian lagi menyebut sebagai Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua. Bahkan dalam satu judul pemberitaan, terkadang terdapat kedua istilah yang digunakan. Penyebutan untuk kelompok yang kerap melakukan aksi gangguan keamanan awalnya dilabeli oleh aparat penegak hukum dengan istilah KKB, atau Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB). Di sisi lain, kelompom yang terlabeli tersebut telah menyebut dirinya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB – OPM). Adanya kejadian penembakan terhadap mantan Kabinda Papua, Mayjend Anumerta I Gusti Putu Danny Karya Nugraha pada April 2021 lalu lantas menjadi titik perubahan dalam penyebutan istilah yang nantinya bisa menjadi dasar dalam penindakan.

Juru bicara BIN saat itu, Wawan Purwanto menyebut bahwa sepak terjang OPM selama ini dapat terkategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Terorisme secara definisi bisa disebut sebagai tindakan menggunakan kekerasan yang menimbulkan rasa takut secara meluas hingga jatuhnya korban jiwa secara massal. Hal senada juga pernah disampaikan oleh Kepala BNPT, Komjend Pol Boy Rafli Amar bahwa pihaknya tengah melakukan kajian untuk memasukkan KKB sebagai organisasi teroris. Sementara itu, pengamat Intelijen dan Militer, Susaningtyas Kertopati menilai bahwa langkah pemerintah menetapkan KKB sebagai KST sudah tepat. Dirinya meyakini bahwa pemerintah telah melakukan pertimbangan matang, dengan segala konsekuensi dan implikasi. Menurutnya, konstruksi sosial-politik yang membentuk opini publik dapat meminimalisir dukungan kepada kelompok insurgensi. Sebab, pihak KST kerap melakukan propaganda memanfaatkan media lokal dan internasional.

Belum Adanya Kebijakan Makro dalam Penyelesaian Konflik di Papua

Masih adanya prajurit yang berguguran dalam tugas mulianya di tanah Papua seakan menjadi cerminan situasi secara umum wilayah yang baru saja mekar wilayahnya. Konflik bersenjata di Papua yang telah menahun sudah terlalu banyak menimbulkan darah, baik dari rakyat, aparat, maupun dari anggota kelompok separatis. Menyelesaikan masalah kompleks seperti di Papua tidak saja berkaitan dengan ekonomi politik, namun juga keadilan, identitas hingga dunia internasional. Pada akhirnya, untuk dapat menyelesaikan masalah Papua, tidak hanya butuh hati, bukan hanya pencitraan atau upaya sporadis, namun kerja keras membuat strategi dari tingkat nasional hingga turunannya taktis dan teknis di lapangan. Operasi lawan gerilya, bukanlah operasi yang bisa dilakukan TNI semata. Namun membutuhkan orkestrasi yang mumpuni dari kekuasaan setingkat Presiden.

Anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin menyebut bahwa belum terdapat kebijakan makro dalam upaya penyelesaian masalah Papua. Pemerintah belum membuat keputusan yang sesuai undang-undang UU). Pihak TNI misalnya, sesuai UU No 34/2004 bertugas mengatasi separatisme. Namun, pemerintah seharusnya membuat kebijakan tentang separatisme ini yang disetujui DPR. Terkait dengan UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, TNI juga dapat dilibatkan untuk penanggulangan terorisme. Namun, setelah lebih dari tiga tahun dibahas, hingga kini Perpres tentang Pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme belum juga terbit.

Harapan adanya kebijakan makro kemudian menjadi acuan bagi semua pemangku kebijakan. Pasalnya, ketidakjelasan di tataran kebijakan negara akan berimbas pada ketidakjelasan di lapangan. Tiadanya kebijakan makro juga akan membuat sisi operasi tempur mengambang. Fakta yang terjadi kemudian adalah terdapat beberapa satuan tugas yang karena disebut sebagai operasi penegakan hukum, dipimpin oleh Polri. Padahal, Polri tidak dilatih untuk operasi lawan gerilya. Di sisi lain, adanya dasar operasi penegakan hukum tersebut membuat anggota TNI gamang karena terdapat kekhawatiran disebut melanggar HAM. Dalam konteks Papua, situasi yang terjadi adalah perang, antara membunuh atau dibunuh. Jika kemudian perintahnya masih penegakan hukum, maka harus melalui penyelidikan, penyidikan, hingga proses hukum. Adanya celah antara narasi dan realitas di lapangan secara taktis tersebut kemudian menjadi sebab mengapa banyak insiden yang menewaskan masyakat ataupun aparat.

OPM Harus Ditetapkan Sebagai Separatis

Ketua DPP Perindo Bidang Hankam dan Siber, Susaningtyas NH Kertopati kembali menyatakan bahwa pemerintah harus menetapkan OPM sebagai separatis atau pemberontak senjata sehingga bisa melaksanakan operasi militer. Dengan penetapan status OPM sebagai separatis maka mekanisme dukungan internasional akan berpihak kepada pemerintah Indonesia. Mekanisme tersebut juga dilaksanakan oleh beberapa negara di dunia yang juga menghadapi separatisme. Bahkan pemerintah Indonesia pada dekade 1950-1960 juga telah menetapkan PRRI dan Permesta sebagai pemberontak.

Disebut juga bahwa TNI harus menyelesaikan isu separatism di Papua dengan mekanisme peraturan internasional sebagaimana yang diatur oleh PBB. Konflik separatisme juga terjadi di berbagai belahan dunia dan ditangani secara profesional oleh militer negara-negara tersebut. Isu separatisme di Catalunya misalnya, diselesaikan dengan cepat dan senyap oleh militer Spanyol. Bahkan Uni Eropa juga secara tegas membantu pemerintah Spanyol membasmi sparatisme Catalunya. Bahkan PBB juga memberikan dukungan nyata seperti halnya dukungan kepada pemerintah Inggris terhadap separatisme Irlandia Utara dan dukungan kepada pemerintah Spanyol dalam menangani separatisme Catalunya. Tidak hanya itu, Komisi HAM PBB juga akan memberikan rekomendasi positif kepada korban prajurit militer yang diserang separatis.

Pemerintah perlu kecepatan dan ketepatan dalam bertindak. Jika tidak, maka hanya akan membuat semakin banyak prajurit TNI yang gugur. Dalam hal ini yang diserang TNI adalah KST dengan tindakan kejam, bukan Orang Asli Papua (OAP) yang pro NKRI. Pemerintah dan DPR harus mengeluarkan kebijakan dan keputusan politik negara yang memerintahkan TNI untuk melaksanakan operasi militer. Lalu umumkan bahwa OPM adalah pemberontak bersenjata.

Perubahan Istilah KKB Menjadi Kelompok Separatis dan Teroris Sebagai Dasar Pemberantasan

Dalam hal KKB berkedok separatis, konstitusi sebenarnya telah menjamin keterlibatan TNI. Dalam UUD pasal 30 ayat (3), menyatakan, “Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.” Negara memiliki Koopsus TNI yang beranggota personel tiga matra dengan klasifikasi mahir, dan khusus bertugas menumpas terorisme. Namun karena ‘kelembekan’ penanganan bisa berdampak menjamurnya kelompok separatis baru pada kawasan lain, di sekitar Papua. Seluruh tindakan brutal, dan kekejaman yang dilakukan kelompok tersebut di seluruh kawasan Papua, dapat ‘ditimbang’ dengan UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan menggolongkan realita kriminal bersenjata sebagai terorisme, maka negara dapat melakukan operasi pemberantasan lebih efisien, sekaligus lebih melindungi rakyat. Hal yang perlu dicermati yakni menilik senjata yang digunakan OPM bukanlah alat tradisional melainkan senjata api berstandar perang. Maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka tergolong pasukan pemberontak kombatan yang wajib untuk segera ditumpas.

Analis Komunikasi politik dan militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting menilai bahwa dirinya tak setuju jika pemerintah masih menggunakan analogi KKB. Hal tersebut karena yang dilakukan mereka bukan hanya sekadar kriminal saja, melainkan memiliki tujuan melepaskan diri dari Indonesia. Gerakan separatis tersebut secara terang-terangan menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak tahun 1965. Front politik dari gerakan ini secara eksplisit menginginkan referendum untuk memilih merdeka dan lepas dari Indonesia. Mereka sudah memiliki bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, pemerintahan, dan militer. Lalu mengapa pemerintah masih bersikukuh dan berkutat pada analogi yang kurang tepat. Padahal, BIN sejak beberapa waktu lalu telah menggunakan istilah Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua. OPM jelas gerakan separatis yang harus ditumpas dengan kekuatan militer.

Pada akhirnya menjadi harapan kita semua bahwa, tak ada lagi kabar penyerangan atau korban berjatuhan akibat gangguan keamanan oleh kelompok yang nyata-nyatanya tergolong sebagai gerakan separatis dan teroris. Sudah waktunya masyarakat Papua hidup tenang tanpa adanya ancaman dan gangguan yang mengharuskan mengungsi serta menahan kelaparan. Kelompok Separatis dan Teroris Papua harus segera ditanggulangi.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Artikel Terkait

Leave a Comment